Selasa, 7 Januari 2014

Kisah Hijrah Rasulullah SAW yang Menggetarkan Jiwa




Hijrah adalah sunnatullah dalam kehidupan para nabi dan rasul, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, mereka melakukannya. Dengan berhijrah, mereka bisa menegakkan agama Allah. Dengan berhijrah, para pengikut setia mereka dapat keluar dan bebas mer­deka dari sistem Jahiliyah dan penindasan yang dilakukan para penguasa zhalim terhadap mereka.

Sebab itu, Allah jadikan hijrah itu salah satu pilar utama penegakan Islam. Di samping itu, dengan hijrah seorang mukmin mendapat perlindungan dari saudara-saudaranya yang lain. Allah berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 72 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwa­nya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu lindung melindungi.

Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka sebe­um mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, kamu wajib memberikan pertolongan, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Bagian Bumi yang paling Baik
Sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beberapa kalangan di antara penduduk Madinah telah memeluk Islam. Berita ini pun sampai ke Makkah. Tersebarnya kabar tentang masuk Islamnya sekelompok penduduk Madinah membuat orang-orang kafir Quraisy semakin meningkatkan tekanan terhadap orang-orang mukmin di Makkah.

Dalam upaya menyelamatkan dakwah Islam dari gangguan kafir Quraisy, Rasulullah SAW, atas perintah Allah, bersegera hijrah dari Makkah ke Madinah. Namun sebelumnya Nabi SAW memerintahkan kaum mukminin agar hijrah terlebih dahulu ke Madinah. Para sahabat segera berangkat secara diam-diam agar tidak dihadang oleh musuh.

Menjelang Rasulullah SAW hijrah, kaum kafir Quraisy telah merencanakan upaya jahat untuk membunuh beliau. Ketika saatnya tiba, sebagaimana dituturkan oleh Muhammad Husain Haikal dalam Hayat Muhammad, pemuda-pemuda yang sudah disiapkan kaum Quraisy untuk membunuh Rasulullah di malam itu sudah mengepung rumah beliau. Pada saat bersamaan, Rasulullah menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk memakai jubahnya yang berwarna hijau dan tidur di kasur beliau. Nabi SAW meminta Ali supaya ia tinggal dulu di Makkah untuk menyelesaikan berbagai keperluan dan amanah umat sebelum melaksanakan hijrah.

Para pemuda yang sudah disiapkan Quraisy, dari sebuah celah, mengintip ke tempat tidur Nabi SAW. Mereka me­lihat ada sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mereka pun puas bahwa orang yang mereka incar belum lari.

Menjelang larut malam, Rasulullah saw keluar dari rumah beliau dan menaburkan pasir ke kepala para pemuda tsb sambil membaca :

“Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin [36]: 9)

Rasulullah pun lolos dari penglihatan para pemuda tsb dan menuju ke rumah Abu Bakar dan terus bertolak ke arah selatan, ke arah Yaman, menuju Gua Tsur.

Untuk mengelabui para pemuda Quraisy yang telah menutup semua jalur menuju Madinah, Rasulullah memutuskan menempuh jalan lain, rute yang berbeda, dari jalur yang biasa digunakan penduduk Makkah untuk menuju Madinah. Beliau juga memutuskan akan berangkat bukan pada waktu yang biasa.

Para pemuda Quraisy yang berencana akan menyergap Nabi SAW pun kemudian memasuki rumah beliau. Namun alangkah terkejutnya mereka, karena ternyata beliau sudah tidak ada di tempat. Mereka hanya mendapati Ali sedang tidur di kasur beliau.

Di sinilah, sebagaimana dipaparkan Muhammad Husain Haikal, dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan, dan keimanan.

Yang ditempuh Rasulullah setelah keluar dari rumah beliau adalah Gua Tsur, yang berjarak sekitar enam hingga tujuh kilometer di selatan Makkah. Sedangkan Madinah berada di sebelah utara Makkah. Langkah ini diambil untuk mengelabui kafir Quraisy.

Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar, yang menemani beliau, tinggal selama kurang lebih tiga hari.

Sebelum melangkahkan kaki, Rasulullah menatap kota Makkah dari kejauhan. Dengan berlinang air mata, beliau berucap, “Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata tidak diusir, aku tak akan meninggalkanmu, wahai Makkah.”

“Janganlah Engkau Bersedih Hati…”

Gua yang sempit dan jarang dising­gahi manusia itu dipilih untuk satu tujuan yang tidak diketahui siapa pun kecuali Nabi, Abu Bakar, sahabat yang kelak menjadi mertua beliau, dan ada empat orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Abdullah dan Asma (keduanya putra-putri Abu Bakar), serta pembantu Abu Bakar, Amir bin Fuhairah.

Keempat orang itu mendapat tugas yang sangat strategis bagi kesuksesan perjalanan yang amat bersejarah tersebut.

Ali berdiam di rumah Rasul SAW untuk mengelabui kaum musyrikin. Abdullah ditugasi untuk memantau perkembangan berita di kalangan orang-orang kafir Makkah lalu menyampaikannya kepada Rasul pada malam harinya ke tempat persembunyian. Asma setiap sore membawa makanan buat Rasul dan ayahnya. Amir bin Fuhairah ditugasi menggembalakan kambing Abu Bakar, memerah susu, dan menyiapkan daging. Apabila Abdullah bin Abu Bakar kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejak.

Sementara itu pihak Quraisy berusaha keras mencari jejak Rasul SAW dan Abu Bakar. Pemuda-pemuda Quraisy dengan wajah beringas membawa senjata tajam, mondar-mandir mencari ke segenap penjuru.

Ketika bergerak menuju Gua Tsur, mereka menyambangi bibir gua itu. Sang pemimpin hendak menerobos masuk, tapi kemudian tidak jadi.

“Kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya anak buahnya.

“Setelah aku amati, tampaknya gua ini tak mungkin dijadikan persembunyian. Di dalamnya ada sarang laba-laba dan sarang burung liar hutan. Akal sehatku mengatakan, tidak mungkin ada orang yang masuk ke dalamnya, bahkan tak ada bukti yang menunjukkan jejak orang yang kita cari,” katanya.

Sedangkan di dalam gua, Abu Bakar merasa khawatir. Apalagi mendengar derap langkah orang-orang itu. Ia berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, andai salah seorang di antara mereka menemukan kita, habislah kita. Jika aku mati, apalah diriku. Tapi jika dirimu yang mati, tamatlah riwayat dakwahmu.

Bagaimana jadinya?”

Beliau menjawab dengan balik ber­tanya, “Apa yang ada di benakmu jika berduanya kita di sini juga ada Allah, yang ketiga di antara kita?”

Maka turunlah firman Allah yang artinya, “Kalau kamu tidak menolong­nya, sesungguhnya Allah telah menolongnya, (yaitu) tatkala orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu dia berkata kepada teman­nya, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya dan dikuatkanNya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadi­kan seruan orang-orang kafir itu rendah, sedangkan kalimah Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana.” — QS At-Tawbah (9): 40.

Padang Pasir nan Gersang

Setelah meyakini bahwa apa yang dicari tampaknya tidak membuahkan hasil, gerombolan musyrikin ini meninggalkan gua tersebut. Tiga hari tiga malam Rasulullah SAW bersama Abu Bakar di dalam gua yang senyap dan gelap itu.

Pada hari ketiga, ketika keadaan sudah tenang, unta untuk kedua insan yang saling mencintai ini didatangkan oleh Amir bin Fuhairah. Asma pun datang menyiapkan makanan.

Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya digunakan untuk menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehingga ia lalu diberi nama Dzat an-Nithaqain (Yang Memiliki Dua Sabuk).

Setelah tiga malam berada di gua, pada malan Senin tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun pertama Hijriyyah, atau pada tanggal 16 September 622 M, Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Amir bin Fuhairah, beserta seorang penunjuk jalan yang bernama Abdullah bin Uraiqith, keluar dari gua, berangkat menuju Madinah. Rasulullah SAW duduk di atas unta, yang dalam kitab tarikh disebut dengan nama “Al-Qushwa”.

Menjelang siang, Rasulullah SAW dan Abu Bakar berangkat meninggalkan Gua Tsur. Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, mereka mengambil rute jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Dengan ditemani Amir bin Fuhairah dan mengupah seorang Badwi dari Banu Du’il, Abdullah bin ‘Uraiqith, sebagai penunjuk jalan, mereka berempat menuju selatan Lembah Makkah, kemudian menuju Tihamah di dekat pantai Laut Merah. Sepanjang malam dan siang, mereka menempuh perjalanan yang amat berat.

Selama tujuh hari Rasulullah SAW bersama Abu Bakar, Amir, dan penunjuk jalannya menyusuri padang pasir nan luas dan gersang. Mereka beristirahat di siang hari karena panas yang membara dan kembali melanjutkan perjalanan sepanjang malam, mengarungi padang pasir dengan udara dingin yang menusuk tulang. Hanya iman kepada Allahlah yang membuat Rasulullah dan sahabatnya berteguh hati dan merasakan damai yang menyelimuti.

Sambutan Penuh Suka Cita

Pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun ke-14 dari nubuwwah atau tahun pertama dari hijrah, bertepatan dengan tanggal 23 September 622 M, Rasulullah dan rombongan tiba di Quba dengan sambutan yang luar biasa oleh kaum muslimin yang ada di sana. Kemudian berjalan hingga berhenti di Bani Amr bin Auf. Abu Bakar berdiri, sementara Rasulullah duduk sambil diam. Orang-orang Anshar yang belum pernah melihat dan bertemu Rasulullah mengira bahwa yang berdiri itulah Rasulullah, padahal itu Abu Bakar.

Tatkala panas matahari mengenai Rasulullah, Abu Bakar segera memayungi beliau dengan jubahnya. Saat itulah mereka baru tahu bahwa yang duduk dan diam itulah Rasulullah SAW.

Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilometer dari Quba, beliau bersama umat Islam lainnya melaksanakan shalat Jum’at. Shalat Jum’at dilaksanakan di tempat Bani Salim bin Auf. Untuk memperingati peristiwa itu, dibangunlah masjid di lokasi ini dengan nama “Masjid Jum’at”.

Pada hari Jum’at itu pula beliau melanjutkan perjalanan menuju Madinah.

Berita tentang hijrahnya Nabi SAW yang akan menyusul kaum muslimin Makkah yang telah tiba sebelumnya sudah tersiar di Yatsrib (Madinah). Penduduk kota ini sangat mafhum, betapa penderitaan akibat kekerasan kafir Quraisy telah banyak menimpa Nabi SAW. Oleh karena itu kaum muslimin menantikan penuh harap kedatangan Rasulullah dengan hati yang khawatir tapi sekaligus berbunga-bunga ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya.

Banyak di antara mereka yang belum pernah melihat Nabi, meskipun sudah mendengar ihwalnya dan mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka rindu sekali ingin bertemu.

Akhirnya, Rasulullah tiba dengan selamat di kota Madinah pada hari Jum’at, 12 Rabi’ul Awwal, tahun 13 Ke­nabian/12 atau 13 September 622 M. Sambutan penuh suka cita diiringi isak tangis penuh haru dan kerinduan menyeruak di langit Madinah. Syair pun berkumandang:

“Thola‘al badru ‘alayna Min Tsaniyyatil Wada’ Wajabasy syukru ‘alayna Ma da‘a lillahi da‘ Ayyuhal mab‘utsu fina Ji’ta bil amril mutha’ “

Telah nampak bulan purnama Dari Tsaniyyah Al-Wada’ Wajiblah kami bersyukur Atas masih adanya penyeru kepada Allah Wahai orang yang diutus kepada kami Engkau membawa sesuatu yang patut kami taati

Abu Ayyub segera menyokong Nabi. Ia pun tampil menjadi penolongnya. Dengan penuh suka cita, ia telah mempersiapkan bangunan rumah bagi Nabi. “Terserah olehmu, wahai kekasih Allah… bagian mana saja ingin engkau tinggali, kami sangat bahagia bersamamu,” kata Abu Ayyub.

Di rumah pemberian Abu Ayyublah Nabi SAW memilih untuk tinggal bersama istrinya, Saudah binti Zamah, dan kedua putrinya, Fathimah dan Ummu Kultsum. Hari itu jatuh pada hari Jum’at, sehingga beliau bersegera untuk melaksanakan ibadah Jum’at yang pertama kali diselenggarakan di Madinah.

Empat hari sebelumnya, sebelum tiba di Madinah, di Lembah Wadi Ranunah, Baqi, tempat penjemuran kurma milik dua orang anak yatim dari Banu Najjar, unta Nabi SAW menghentikan langkahnya. Nabi SAW turun dari untanya dan bertanya, “Kepunyaan siapa tempat ini?”

“Kepunyaan Sahl dan Suhail bin ‘Amr, wahai Rasulullah,” jawab Ma’adh bin ‘Afra, wali kedua anak yatim itu.

Kedua anak yatim itu berharap kepada Nabi Muhammad SAW agar di lahan milik mereka didirikan masjid. Nabi menyetujuinya, dan itulah masjid yang pertama kali berdiri dalam perjalanan hijrah yang amat berkesan.

Sebelum tibanya Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA, rombongan pertama Muhajirin telah lebih dulu sampai di Yatsrib beberapa hari sebelumnya.

Aisyah RA meriwayatkan, permusuhan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin bertambah berat di Makkah. Mereka datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW meminta izin berhijrah. Pengaduan itu dijawab oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, “Sesungguhnya aku telah diberi tahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang siapa ingin hijrah, hendaklah ia menuju Yatsrib.”

Para sahabat pun bersiap-siap, mengemas semua keperluan perjalanan. Bahkan sebahagian besar tidak memperdulikan lagi harta benda milik mereka. Mereka ingin segera melaksanakan perintah Rasul itu.

Mereka berangkat secara sembunyi-sembunyi.

Sahabat yang pertama kali sampai di Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rab‘ah bersama istrinya, Laila binti Abi Hasymah. Setelah itu para sahabat Rasulullah SAW datang secara bergelombang. Mereka tiba di rumah-rumah kaum Anshar dan mendapatkan tempat perlindungan. Tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah SAW yang berani hijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin Al-Khaththab RA.

Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan, ketika Umar hendak berhijrah, ia membawa pedang, busur, panah, dan tongkat yang diselempangkan di bahunya yang kokoh. Saat meninggalkan rumahnya, ia menuju Ka’bah. Sambil disaksikan beberapa orang tokoh Qu­raisy, Umar melakukan thawaf tujuh kali dengan tenang.

Setelah thawaf ia menuju Maqam Ibrahim dan mengerjakan shalat. Seusai shalat, ia berdiri seraya berkata, “Semoga celakalah wajah-wajah kalian! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah! Barang siapa ingin ibunya kehilangan anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.”

Tidak seorang pun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberi tahu Umar dan dilindungi perjalanannya.

Kemudian Umar berjalan dengan gagah berani dan santai.

Demikianlah, secara berangsur-angsur kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang tertinggal di Makkah, kecuali Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Ali RA, orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit, dan orang-orang yang belum mampu keluar meninggalkan Makkah, termasuk ayah dan beberapa orang anak Abu Bakar RA.

Kisah Keteladanan

Saat hijrah berlangsung, banyak peristiwa dan kejadian penting yang patut menjadi teladan umat Islam. Di antaranya kisah Suraqah bin Malik bin Ja’syam. Ia bermaksud menangkap Rasulullah SAW dan Abu Bakar, lalu menyerahkannya kepada Quraisy, karena tergiur dengan iming-iming yang diberikan bila dapat menangkap Rasul SAW.

Namun, belum sempat mendekati Rasul, kudanya terperosok dan ia pun terjungkal. Hal itu berulang-ulang terjadi hingga akhirnya ia memohon maaf dan mengaku terus terang perbuatannya untuk menangkap Rasulullah SAW karena tergoda oleh imbalan besar yang dijanjikan orang-orang kafir Quraisy.

Rasulullah kemudian memaafkannya. Inilah kebesaran jiwa Nabi, yang mesti diteladani umat. Walaupun seseorang sudah bersalah, kalau ia meminta maaf, kita wajib memaafkannya.

Perjalanan hijrah para sahabat pun banyak yang dapat diambil hikmahnya. Mereka berbondong-bondong berhijrah ke Madinah meninggalkan harta, negeri, dan keluarga besar mereka. Mereka bersabar dengan semua kesulitan dan rintangan yang ada di perjalanan mereka ke Madinah. Para muhajirin ini ada yang berkelompok, seperti hijrahnya Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu de­ngan ‘Ayyasy dan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha bersama anak dan pendampingnya, dan ada yang berhijrah seorang diri, seperti hij­rahnya Shuhaib Ar-Rumi Radhiyallahu ‘Anhu.

Ketika ia berangkat hijrah, kaum kuffar Quraisy menghalanginya di tengah jalan. Mereka berkata kepada Shuhaib Ar-Rumi, “Engkau datang kepada kami dalam keadaan miskin. Kemudian hartamu bertambah banyak ketika bersama kami. Sekarang engkau ingin pergi dengan membawa hartamu. Demi Allah, itu tidak akan bisa terjadi!”

Mendengar teguran ini, Shuhaib mengajukan penawaran, “Bagaimana pendapat kalian jika aku memberikan seluruh hartaku kepada kalian? Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?”

Mereka menjawab, “Ya.”

Kisah ini terdengar oleh Rasulullah SAW, kemudian beliau bersabda, “Shuhaib telah mendapatkan keberuntungan.”

Dalam riwayat lain disebutkan dari Shuhaib bahwa ia berkata kepada orang-orang kafir Quraisy ketika mereka menyusul dirinya, “Maukah kalian aku beri beberapa uqiyah emas lalu kalian membiarkan aku pergi?”

Mereka pun setuju.

“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Galilah di depan pintu (rumah)ku. Di bawahnya terdapat beberapa uqiyah emas.’

Lalu aku pergi dan bisa menyusul Rasulullah di Quba sebelum beliau pergi meninggalkannya.

Ketika melihatku, beliau bersabda, ‘Wahai Abu Yahya, perniagaan yang menguntungkan.’ Kemudian beliau mem­baca ayat ini (yang artinya, ‘Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya).” — QS Al-Baqarah (2) 207.

Dalam riwayat lainnya ia berkata kepada orang Quraisy, “Sesungguhnya aku sudah tua dan aku memiliki harta dan perhiasan yang banyak. Tidak ada mudharat bagi kalian seandainya aku ikut kalian atau ikut musuh kalian. Aku serahkan semua harta dan perhiasanku dan aku beli agamaku dari kalian dengan itu semua.”

Akhirnya orang-orang Quraisy setuju dan membiarkan jalannya menuju Madinah. Maka berangkatlah kembali Shuhaib Ar-Rumi menuju Madinah, lalu turunlah ayat di atas.

Imam Al-Alusi dalam kitab Ruh Al-Ma‘ani (2/97) menjelaskan kisah ini dengan mengatakan, “Shuhaib ketika berangkat berhijrah dikejar beberapa tokoh musyrikin, lalu ia turun dari kendaraannya dan mengeluarkan isi tempat panahnya serta menyiapkan busurnya. Kemudian ia berkata, ‘Wahai kaum Quraisy, sungguh aku seorang ahli memanah. Sungguh, demi Allah, tidaklah kalian mampu menyentuhku hingga aku habiskan isi tempat anak panahku ini dan aku tebas dengan pedangku selama tidak lepas pedang tersebut di tanganku. Setelah itu barulah kalian bisa berbuat sesuka kalian.’

Lalu mereka menjawab, ‘Serahkanlah kepada kami isi rumah dan hartamu di Makkah dan kami akan membiarkan kamu pergi.’

Kemudian orang-orang musyrik itu mem­buat perjanjian bahwa, bila ia menyerahkan kepada mereka, mereka akan membiarkannya pergi, maka ia pun menyetujuinya. Maka Rasulullah pun bersabda, “Jual-beli yang menguntungkan, jual-beli yang menguntungkan.”

Lihatlah bagaimana komitmen terhadap Islam mengalahkan keinginan untuk memiliki semua harta, sehingga ia serahkan seluruh harta bendanya agar dapat berhijrah ke kota Madinah. Ia serahkan seluruh harta bendanya bukan karena takut menghadapi orang-orang Quraisy, namun karena ingin berhijrah ke kota Madinah dengan tanpa masalah. Perjuangan yang patut dicontoh dan diteladani.

***

Awal penindasan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin terjadi pada pertengahan atau akhir-akhir tahun keempat kenabian. Saat itu Az-Zahro telah mencapai usia delapan setengah tahun atau hampir mencapai sembilan tahun. Kemudian penindasan itu mencapai puncaknya pada pertengahan tahun kelima.

Ujian ini membuat kaum muslimin berpikir mencari cara yang dapat menyelamatkan mereka dari siksaan yang pedih itu. Dalam kondisi tersebut turunlah Surat Az-Zumar, yang di dalamnya terkandung isyarat yang agak jelas untuk melakukan hijrah. Allah SWT berfirman yang artinya, ”Katakanlah, ‘Hai hamba-hambaKu yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” — QS Az-Zumar (39): 10.

Rasulullah SAW mengetahui bahwa Ashhimmah An-Najasyi, raja Habasyah, adalah seorang raja yang adil dan tidak mau menzhalimi seorang pun. Maka beliau memerintahkan kaum muslimin agar hijrah ke Habasyah.

Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian, hijrahlah kelompok pertama dari para sahabat menuju Habasyah. Mereka terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang perempuan. Pemimpinnya Utsman bin Affan, yang hijrah bersama istrinya, Sayyidah Ruqayyah, putri Rasulullah SAW. Nabi SAW mengatakan ihwal mereka berdua, “Sesungguhnya mereka adalah keluarga pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth.”

Fathimah berpisah dengan kakak perempuannya, Ruqayyah. Dalam perpisahan tentu terdapat kekhawatiran, tetapi hal itu menjadi sesuatu yang remeh di jalan menegakkan agama Allah. Bahkan, segala sesuatu menjadi remeh. Anak menjadi remeh, dan harta pun menjadi remeh. Tanah air juga menjadi remeh di jalan meninggikan agama dan kalimat yang haq. Ruqayyah pergi hijrah meskipun ia putri Rasulullah SAW. Ia bahkan ter­masuk orang yang pertama hijrah untuk membuka pintu hijrah bagi kaum mukminin yang lain. Dalam hal ini tidak ada beda antara putra-putri Rasulullah dan kaum mukminin semuanya, karena Islam bukanlah agama diskriminatif.

Fathimah menghapus air mata yang keluar karena perpisahan dengan saudara perempuannya. Pada kedua bibirnya tersungging senyuman, karena saudara itu akan mendapatkan ganjaran yang besar dari Allah SWT.

Setelah perpisahan ia pergi menjumpai ibunya agar ibunya, Sayyidah Khadijah, melihat air mata di kedua matanya dan senyuman di bibirnya. Hijrah yang diberkahi dan pertama kali menuju Habasyah itu dapat berlangsung dengan selamat.

Fathimah dan ayahnya kemudian merasa rindu untuk mendengar berita-berita tentang Ruqayyah, dan Allah mengabulkan keinginan kedua hati itu. Kemudian datang seorang perempuan dari kalangan Quraisy yang mengatakan, “Wahai Muhammad, sungguh aku melihat menantumu bersama dengan istrinya di atas keledai yang ditungganginya.”

Maka Rasulullah SAW mengatakan, “Semoga Allah menyertai keduanya. Sesungguhnya Utsman adalah orang pertama yang hijrah dengan keluarganya setelah Nabi Luth AS.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya mereka berdua adalah orang pertama yang hijrah ke jalan Allah setelah Nabi Luth.”

Ruqayyah tidak kurang kerinduannya dibandingkan ayahnya, ibunya, dan saudara-saudara perempuannya. Bahkan, mungkin ia termasuk yang paling menginginkan kembali ke Makkah di antara mereka yang hijrah itu. Dan mungkin itu karena ia belum pernah kehilangan kedua orangtuanya dan saudara-saudara perempuannya sebelum itu sebagaimana ia kehilangan mereka saat itu. Kejadian-kejadian berat yang dialaminya terutama ketika ia keguguran pada kandungannya yang pertama, yang sangat mempengaruhi kesehatannya, sehingga orang khawatir ia akan menjadi terlalu lemah dan letih.

Tetapi ia mendapatkan perhatian suaminya dan kecintaannya, juga kasih sayang dan perhatian dari orang-orang yang hijrah, yang semua itu membantunya untuk mengatasi krisis yang berat, sehingga ia kembali pulih. Lebih-lebih dengan datangnya berita-berita dari Makkah bahwa kaum Quraisy telah putus asa untuk mengganggu Rasulullah dan para sahabatnya, sehingga pemboikotan yang sangat keras yang mereka timpakan kepada Bani Hasyim akhirnya dihentikan.

Semuanya Bersujud
Akar dari berita yang tersebar itu adalah, suatu ketika, Rasulullah keluar di bulan Ramadhan pada tahun itu menuju Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram dipenuhi oleh sekumpulan orang Quraisy yang banyak jumlahnya. Di antaranya terdapat para pemuka dan pembesarnya. Lalu Rasulullah berdiri di tengah-tengah kumpulan ini. Kaki Fathimah tidak beranjak dari tempatnya menyaksikan keberanian ayahnya berada di tengah-tengah sekumpulan besar para musuhnya. Tiba-tiba Fathimah mendengar suara beliau yang keras ketika membaca surah An-Najm. Orang-orang kafir itu sebelumnya tidak pernah mendengar kalam Allah, karena cara mereka yang turun-temurun adalah mengamalkan apa yang dipesankan oleh sebagian mereka kepada sebagian yang lain.

Di antara ucapan mereka adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya, ”Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kalian dapat mengalahkan (mereka).” — QS Fush­shilat (41): 26.

Ketika Rasulullah mendatangi mereka secara tiba-tiba dengan membaca surah ini dan mengetuk telinga mereka dengan kalam Ilahi yang memukau, mereka merasa bingung dengan apa yang mereka alami. Maka masing-masing mereka mendengarkannya dengan baik. Tidak terpikir di benak mereka saat itu sesuatu selainnya, sampai ketika beliau membaca akhir surah ini seolah-olah hati mereka menjadi terbang. Kemudian beliau membaca ayat yang artinya, ”Maka bersujudlah kalian kepada Allah dan sembahlah (Dia).”

Setelah itu beliau sujud, dan tak ada se­orang pun yang dapat menguasai diri­nya sehingga semuanya bersujud.

Fathimah heran menyaksikan hal itu. Sungguh itu suatu pemandangan yang indah yang ia saksikan. Para pemimpin kekafiran dan pembesar-pembesarnya menjadi bingung berhadapan dengan indahnya kebenaran. Penentangan yang ada di dalam hati mereka yang sombong dan suka mengejek itu pun sirna seke­tika. Mereka tidak bisa menahan diri untuk bersujud kepada Allah. Tiba-tiba diri mereka menjadi kosong dan dingin ketika tersentuh oleh arus keyakinan yang timbul dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia.

Kejadian ini merupakan petunjuk bagi setiap muslim bahwa sesungguhnya kekuatan keburukan itu, betapa pun sewenang-wenangnya ia dan betapa pun berkuasanya ia, tak akan dapat melawan kalimat-kalimat yang mengandung cahaya, dan tiang-tiangnya akan hancur apabila tersentuh oleh rahasia yang tersembunyi dalam kalimat-kalimat Allah ini.

Berita-berita tentang kejadian ini sampai pula kepada orang-orang yang hijrah ke Habasyah, tetapi beritanya sama sekali berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Berita yang sampai kepada mereka adalah bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Maka kembalilah mereka ke Makkah pada bulan Syawwal tahun itu juga.

Ketika mereka telah berada di dekat Makkah di suatu siang dan mereka mengetahui masalah yang sebenarnya, mereka pun kembali ke Habasyah. Tidak ada yang masuk ke Makkah di antara mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi atau dalam perlindungan seorang musyrik Quraisy, seperti Al-Walid bin Al-Mughi­rah dan Abu Thalib bin Abdul Muththalib.

Ruqayyah dan suaminya juga kembali.

Ketika sampai ke perkampungan Makkah, ia segera menuju ke rumah ayahnya, karena sangat rindunya. Ke­mudian kedua saudaranya, Ummu Kultsum dan Fathimah, segera menemuinya. Mereka memeluknya dan mengalir air mata di pelupuk mereka karena perpisahan yang singkat namun lama. Walaupun singkat dalam masanya, lama dalam kerinduan dan penderitaannya.

Setelah itu tampak hakikat yang sebenarnya bahwa kaum Quraisy tetap berada dalam kekufurannya, penentangannya, dan gangguannya. Lalu orang-orang yang hijrah pun kembali ke Habasyah.

Ruqayyah kembali bersama suaminya, Utsman bin Affan, untuk hijrah kedua kalinya.

Kaum Quraisy melihat bahwa ada bahaya yang mungkin tersembunyi pada mereka yang hijrah ini. Mereka khawatir daerah Islam meluas ke luar Makkah dan kemudian kaum muslimin yang ada di Makkah mendapatkan orang-orang yang menolong mereka dan membantu mereka dalam hal-hal yang mereka butuhkan.

Dalam Perlindungan An-Najasyi
Kemudian orang-orang Quraisy berpikir untuk mengirim dua orang utusan dan membekali mereka dengan hadiah-hadiah yang dapat mereka bawa untuk An-Najasyi. Kaum Quraisy memilih dua orang yang cerdas di antara mereka. Mereka ingin merusak hubungan baik antara An-Najasyi dan orang-orang yang hijrah. Pilihan mereka jatuh pada Abdullah bin Abi Rabi‘ah dan Amr bin Al-Ash bin Wail As-Sahmi. Mereka pun mengumpulkan hadiah-hadiah yang akan dibawa keduanya untuk An-Najasyi.

Maka bertolaklah mereka di depan mata Nabi Muhammad SAW serta para sahabat dan keluarganya yang tetap tinggal bersama beliau.

Abu Thalib merasa kasihan kepada mereka yang berada di negeri Habasyah. Di antara mereka terdapat putranya, Ja‘far bin Abi Thalib, dua anak dari anak-anak perempuannya, Barrah dan Umaimah, dan Ruqayyah, cucu saudaranya, Abdullah. Ia khawatir akan mereka dari tipu daya Amr dan sahabatnya. Maka ia menggubah sebuah syair yang ditujukan kepada Najasyi, mengharapkan kemurahannya agar berkenan membela umat Islam, yang telah memilih untuk berlindung kepadanya.

Hati Sayyidah Fathimah yang bersih juga bergetar karena khawatir akan nasib saudaranya, Ruqayyah, dan suami saudaranya itu. Ia juga khawatir akan kaum muslimin lainnya yang berada dalam perlindungan An-Najasyi. Ibunya melihat bahwa di wajahnya terdapat kekhawatiran yang tak diungkapkan oleh lisannya.

Namun Ummu Kultsum dapat menenangkannya dan segera mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya Allah akan menolong mereka yang hijrah itu terhadap `Amr dan sahabatnya. Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. Tidakkah kemarin engkau melihat, wahai Fathimah, kejadian yang menakjubkan dan mulia ketika ayahmu membaca surah An-Najm dan kemudian para pembesar dari mereka yang kufur dan menentang itu ikut sujud. Bukankah ini pertolongan dari Allah Ta`ala dan petunjuk dari-Nya yang disadari oleh hati-hati yang beriman? Se­sungguhnya mereka yang kafir itu seandainya tidak mau beriman mereka akan hina. Bukankah keadaan mereka ini merupakan petunjuk menyerahnya mereka dan kehinaan mereka? Sesungguhnya Allah Ta`ala bersama mereka yang hijrah yang keluar di jalanNya.

Sekali-kali Allah tidak akan menghinakan mereka dan sesungguhnya Allah akan menolong orang yang menolong agamaNya. Dan mereka itu memang menginginkan pertolongan Allah dan ingin menyampaikan agamanya kepada semua yang berada di muka bumi.”

Sikap Rasulullah yang diam juga menenangkan Fathimah, karena beliau tidak berkata-kata menurut hawa nafsunya dan tidak ada sesuatu melainkan tampak pada wajahnya. Jika ada suatu kebaikan, wajahnya diliputi kegembiraan dan kebahagiaan; dan jika ada keburukan, wajahnya berubah menampakkan apa yang beliau tahan dalam dirinya.

Dua orang utusan kaum Quraisy itu pergi ke Habasyah. Mereka menyerahkan kepada setiap orang suatu hadiah, kemudian mereka menyampaikan hadiahnya kepada An-Najasyi. Mereka meminta An-Najasyi agar mengembalikan kepada mereka orang-orang yang meninggalkan agama mereka. Lalu terjadilah persaingan antara yang haq dan yang bathil, antara keimanan dan kekufuran, antara sumber-sumber kebaikan dan sumber-sumber keburukan. Kemudian menanglah kebaikan, iman, dan kebaikan, atas kebathilan, kekufuran, dan keburukan.

‘Amr dan Abdullah kembali ke kaum Quraisy dengan tangan hampa. Mereka membawa kegagalan dan kehinaan. Maka tahulah kaum Quraisy bagaimana sikap An-Najasyi dan bahwa semua yang ada di tempatnya akan berada dalam perlindungannya dengan aman, dan bahwa usaha apa saja dari kaum Quraisy agar An-Najasyi mau mengembalikan kaum muslimin yang hijrah tidak akan berhasil.

Fathimah yakin, kedua utusan itu telah kembali dalam keadaan terhina. Ia juga yakin, Allah akan menolong agama ini, baik di Makkah maupun di luar Makkah. Tidak ada kejadian-kejadian yang dialami kaum muslimin melainkan merupakan isyarat-isyarat dari Tuhan sekalian alam yang membuat hati setiap mukmin menjadi tenang. Itu isyarat yang jelas, tidak ada kesamaran di dalamnya, dan memiliki maksud yang penting yang menguatkan hati orang-orang yang ber­iman.

Setiap kali awan semakin banyak

kilat menyambar

hujan akan turun

dan awal hujan itu adalah rintik-rintik

Jika kesulitan bertambah berat, akan datang cahaya kemudahan. Kesulitan dan kemudahan itu dua hal yang bercampur sampai kemudahan dapat mengalahkan kesulitan. Bagaimana pun beratnya langkah kesulitan, pasti suatu hari kemudahan akan dapat mengalahkannya.

Kapankah tepatnya Beliau tiba di Madinah?
Beragam informasi dijumpai pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah SAW singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian atau 24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00).Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin ‘Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal atau 27 September 622 M dan membangun masjid pertama; Masjid Quba. Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal atau 28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah.

Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni Wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Bani Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jum’at (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi shalat Jum’at bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah shalat Jum’at yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan shalat Jum’at, Nabi SAW melanjutkan perjalanan menuju Madinah.Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jum’at 16 Rabi’ul Awwal atau 28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal atau 5 Oktober 621 M, namun ada pula yang menyatakan hari Jum’at 12 Rabi’ul Awwal atau 24 Maret 622 M.

Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriyah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).

RUJUKAN :

(*)Tarikh at-Thabari, I:571;

(*) Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22;

(*) Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98.

Wallahu a’lamSumber: Majalah alKisah

Tiada ulasan:

Catat Ulasan